Kamis, 04 Juli 2013

Rohani


Maulid Nabi Muhammad S.A.W.: Antara Tradisi, Sunnah Dan Bid’ah


A. PENDAHULUAN
Ketika diminta menulis tentang topik ini, saya teringat dengan suatu event beberapa waktu lalu yang saya presentasi di dalamnya yaitu Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-10 pada 1-4 Nopember 2010 di Banjarmasin yang menampilkan tema kegiatan “Menampilkan Kembali Islam Nusantara. Dalam event tersebut dibahas berbagai makalah yang membahas tentang Islam Nusantara dari berbagai aspeknya.
Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia mempunyai tipikal yang spesifik bila dibandingkan dengan ajaran Islam di berbagai negara Muslim lainnya. Menurut banyak studi, Islam di Indonesia adalah Islam yang akomodatif dan cenderung elastis dalam berkompromi dengan situasi dan kondisi yang berkembang di Indonesia, terutama situasi sosial politik yang sedang terjadi pada masa tertentu. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas, terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Indonesia. Disinilah terjadi dialog dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia, sehingga dikenal sebagai “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia”. “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” dimaknai sebagai Islam yang berbaju kebudayaan Indonesia, Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.[1]
Meskipun Islam lahir di negeri Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan kekhasannya dan pada waktu yang sama sangat berpengaruh di bumi Indonesia yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme, serta agama besar seperti Hindu dan Budha. Dengan demikian, wajah Islam yang tampil di Indonesia adalah wajah Islam yang khas Indonesia, wajah Islam yang berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Hal ini tidak bisa terlepas dari bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Islam beserta ajarannya masuk ke Indonesia dengan cara penetrasi, dengan cara yang sangat laten dan membaur dengan berbagai tradisi yang telah ada dan eksis.[2] Dengan kata lain Islam masuk ke Indonesia tanpa menimbulkan hentakan shoc culture, apalagi memicu kontroversi, sesuatu yang tidak lazim bila dibandingkan dengan sejarah munculnya beberapa ideologi besar di dunia.
Oleh karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan hasil dialog dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam kenyataannya, Islam di Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak monolit, dan tidak simpel, walaupun sumber utamanya tetap pada al-Quran dan al-Sunnah. Islam Indonesia bergelut dengan kenyataan negara-bangsa, modernitas, globalisasi, kebudayaan lokal, dan semua wacana kontemporer yang menghampiri perkembangan zaman dewasa ini.
Tulisan ini ditulis dalam konteks sebagaimana tersebut di atas dalam memandang event peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w. Dalam realitanya memang terdapat berbagai tradisi umat Islam di banyak negara Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya yang menimbulkan “kontroversi” dari perspektif hukum tentang boleh atau tidaknya atau halal atau haramnya untuk mengamalkannya. Di antara tradisi yang menimbulkan kontroversi itu antara lain melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti peringatan maulid Nabi s.a.w., peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Muharram, dan lain-lain.
Oleh karena kontroversi-kontrioversi yang menyelimuti peringatan-peringatan tersebut, maka tulisan ini berupaya menjelaskan posisi peringatan maulid Nabi s.a.w. perspektif hukum Islam, akan tetapi tidak bersifat tunggal, namun memberikan horizon pilihan yang memungkinkan kita untuk bersikap arif dan bijaksana terhadap pihak yang berbeda pahamnya.
  1. B.  Peringatan Maulid Nabi s.a.w. dan Karakteristik Dasar Islam
Islam diyakini sebagai agama yang universal, untuk seluruh umat manusia, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia.[3]  Oleh karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap manusia, tanpa harus ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana manusia itu berada. Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia dapat berhadapan dengan masyarakat tradisional. Islam senantiasa cocok untuk umat manusia kapan pun dan dimanapun.
Kesiapan Islam menghadapi tantangan zaman selalu menjadi topik bahasan para pemikir muslim kontemporer.[4] Pada dasarnya, ajaran Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok ajaran, qath’iyyat danzhanniyatPertama, ajaran Islam yang bersifat absolut, universal dan permanen, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Termasuk kelompok ini adalah ajaran Islam yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits mutawatir yang penunjukannya telah jelas (qath’i al-dalalah). Kedua ajaran Islam yang bersifat relatif, tidak universal dan tidak permanen, dapat berubah dan diubah yang berakar pada nash yang zhanniyat yang membuka ruang berijtihad.[5]Ranah ini memberikan kemungkinan epistemilogis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda karena faktor sejarah, sosiologis, situasi dan kondisi yang berbeda yang melingkupi para mujtahid. Inilah yang disebut fiqh. Fiqh dalam penerapan dan aplikasinya justru harus mengikuti kondisi dan situasi sesuai dengan tuntutan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Hal ini dimaksudkan agar prinsip maslahat tetap terpenuhi dan terjamin. Sebab fiqh adalah produk zamannya. Menurut saya, peringatan maulid Nabi s.a.w. masuk dalam kategori  ini.
Fiqh yang pada saat diijtihadkan oleh mujtahid dipandang tepat dan relevan, mungkin kini dipandang menjadi kurang atau bahkan tidak relevan lagi.[6] Dalam suatu kaidah[7] diungkapkan:
تغير الفتوى واختلافها بحسب تغير الازمنة والامكنة والاحوال والنيات والعوائد
Artinya: “Fatwa hukum Islam dapat berubah sebab berubahnya masa, tempat, situasi, dorongan, dan motivasi”.
Ajaran Islam yang termasuk kelompok yang bersifat relatif (zhanniyat), ternyata lebih banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan ajaran Islam yang bersifat absolut dan permanen. Allah berfirman
وقد فصل لكم ما حرم عليكم إلا ما اضطررتم إليه
Artinya, “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (Q.S. al-An‘am [6]: 119). Ini maknanya bahwa segala sesuatu yang haram telah diperincikan secara detail dalam syarak, sedangkan yang mubah (dibolehkan) tidaklah diperinci secara detail dan tidak pula dibatasi secara detail.
Ajaran Islam yang berakar pada nash zhanni inilah yang merupakan wilayah ijtihadi, yang produknya disebut fiqh. Hukum Islam dalam pengertian inilah yang memberikan kemungkinan epistemologis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum secara berbeda-beda dengan wajah Islam yang berbeda-beda pula. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh perbedaan sistem politik yang dianut, melainkan juga oleh faktor sejarah, sosiologis dan kultur  masing-masing negara muslim tersebut.[8]  Di sinilah Islam berdialog dan berdialektika dengan kultur lokal sehingga melahirkan Islam yang lebih khas nuansa dan muatan lokalnya.
Ijtihad sebagai sarana untuk berdialog dan berdialektika antara Islam dan situasi dan kondisi lokalitas dipahami sebagai metode untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum, baik yang ada nashnya maupun yang tidak terdapat nashnya.[9]  Tidak terkecuali, dalam hal menghukumi peringatan maulid Nabi s.a.w. juga merupakan wilayah ijtihad yang mungkin akan lahir hasil yang berbeda-beda. Ijtihad dalam Islam sebagaimana dikatakan oleh Iqbal merupakan the principle of movement-daya gerak kemajuan umat Islam.[10]  Dengan kata lain, ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam[11] yang menjadikan Islam salihun li kulli zaman wa li kulli makan (selalu cocok kapan pun dan di manapun).
Dalam konteks ijtihad tersebut, perlu ditegaskan bahwa tujuan utama penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil’alamin. Bahkan al-Syatibi dalam al-Muqafaqat[12] menegaskan:

ومعلوم ان الشريعة انما وضعت لمصالح الخلق باطلاق

Artinya: “Telah diketahui bahwa hukum Islam itu disyariatkan atau diundangkan untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk secara mutlak“.
Dalam ungkapan yang lain Yusuf Qardawi[13] menyatakan:

اينما كانت المصلحة فثم حكم الله

Artinya: “Di mana ada maslahat, disanalah hukum Allah”.
Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungan antara hukum Islam dengan kemaslahatan. Mengenai pemaknaan terhadap maslahat, para ulama mengungkapkannya dengan definisi yang berbeda-beda. Menurut al-Khawarizmi, maslahat merupakan pemeliharaan terhadap tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan dari makhluk (manusia).[14] Sementara menurut al-Thufi, maslahat secara urf merupakan sebab yang membawa kepada kemaslahatan (manfaat), sedangkan dalam hukum Islam, maslahat merupakan sebab yang membawa akibat bagi tercapainya tujuan Syâri’ (Allah), baik dalam bentuk ibadat maupun mu’amalat.[15] Sedangkan menurut al-Ghazali, maslahat makna asalnya merupakan menarik manfaat atau menolak madharat. Akan tetapi yang dimaksud maslahat dalam hukum Islam adalah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal tersebut disebut maslahat.[16]
Hal-hal tersebut perlu dikemukakan agar kita lebih arif dalam melihat realitas keberislaman umat Islam yang cenderung tidak tunggal. Dengan memahami karakter dasar Islam, diharapkan satu sama lain tidak mudah mengkafirkan atau menuduh bid’ah, sesat dan lain-lain, sehingga ukhuwah Islamiyah tetap dapat terpelihara walaupun terdapat perbedaan cara pandang terhadap hal-hal yang furu’iyyah, bukan ushuliyyah, karena sumber utamanya tetap sama yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Dalam konteks karakter dasar Islam tersebut di atas, jelaslah peringatan maulid Nabi s.a.w. berada dalam wilayah dzanni, bukan qath’i, ia bukan berada dalam wilayah ibadah mahdah, ia berada wilayah yang produk hukum mengenainya disebut fiqh, ia berada dalam wilayah furu’iyah, bukan ushuliyyah.
C. Memahami Ragam Bid’ah
Bid’ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya, baik itu terpuji atau tercela. Sedangkan secara istilah, para ulama mendefinisikannya dengan berbagai redaksi yang berbeda-beda dan perspektif yang bermacam-macam. Menurut Imam al-Syafi’i, bid’ah dibagi menjadi dua yaitu bid’ah hasanah(mahmudah) dan bid’ah sayyi’ah (madzmumah). Segala sesuatu yang baru yang selaras dengan al-Sunnah disebut bid’ah hasanah, dan sebaliknya.[17]
Ibnu Atsir dalam kitabnya “Annihayah fi Gharibil Hadist wal-Atsar” pada bab Bid’ah dan pada pembahasan hadits Umar tentang Qiyamullail (salat malam) Ramadhan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini“, bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah baik dan bid’ah sesat. Bid’ah yang bertentangan dengan perintah al-Qur’an dan al-Hadits disebut bid’ah sesat, sedangkan bid’ah yang sesuai dengan ketentuan umum ajaran agama dan mewujudkan tujuan dari syariah itu sendiri disebut bid’ah hasanah. Ibnu Atsir menukil sebuah hadits Rasulullah “Barang siapa merintis jalan kebaikan maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang menjalankannya dan barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menjalankannya“. (H.R. Muslim). Rasulullah juga bersabda “Ikutilah kepada teladan yang diberikan oleh dua orang sahabatku Abu Bakar dan Umar“. Dalam kesempatan lain Rasulullah juga menyatakan “Setiap yang baru dalam agama adala Bid’ah“. Untuk mensinkronkan dua hadits tersebut adalah dengan pemahaman bahwa setiap tindakan yang jelas bertentangan dengan ajaran agama disebut “bid’ah”.[18]
Izzuddin bin Abdussalam bahkan membuat kategori bid’ah sebagai berikut: 1) Wajib seperti meletakkan dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman Rasulullah. Ini untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama, seperti kodifikasi al-Qur’an. 2) Bid’ah yang sunnah seperti mendirikan madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan membaca al-Qur’an di dalam masjid. 3) Bid’ah yang haram seperti melagukan al-Qur’an hingga merubah arti aslinya, 4) Bid’ah Makruh seperti menghias masjid dengan gambar-gambar. 5) Bid’ah yang halal, seperti bid’ah dalam tata cara pembagian daging Qurban dan lain sebagainya.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa bid’ah terjadi hanya dalam masalah-masalah ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk membedakan mana amalan yang masuk dalam kategori masalah ibadah dan mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan mana bid’ah yang baik dan tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan. Selayaknya kita tidak membesar-besarkan masalah seperti ini, karena kebanyakan kembalinya hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu’iyyah). Kita diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena ini masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama). Sikap yang kurang terpuji dalam mensikapi masalah furu’iyah adalah mengklaim dirinya dan pendapatnya yang paling benar.[19]
 
  1. D.    Sejarah Maulid Nabi s.a.w.
Fakta yang sesungguhnya dari kehidupan Rasulullah s.a.w. menegaskan bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pada tiap ulang tahun kelahirannya melakukan ritual tertentu. Bahkan para sahabat beliau pun tidak pernah mengadakan ihtifal (perayaan) secara khusus setiap tahun untuk mewujudkan kegembiraan karena memperingati kelahiran Nabi s.a.w. Bahkan upacara secara khusus untuk merayakan ritual maulid Nabi s.a.w. juga tidak pernah ada pada generasi tabi’in.[20]
Dengan demikian secara khusus, Nabi Muhammad s.a.w. memang tidak pernah menyuruh hal-hal demikian. Karena tidak pernah menyuruh, maka secara spesial pula, hal ini tidak bisa dikatakan “masyru‘” (disyariatkan), tetapi juga tidak bisa dikatakan berlawanan dengan syariat. Perayaan maulid Nabi s.a.w. secara khusus baru dilakukan di kemudian hari.
Ada banyak versi tentang siapa yang memulai tradisi ini. Sebagian mengatakan bahwa konon Shalahuddin Al-Ayyubi (komandan Perang Salib yang berhasil merebut Jerusalem dari orang-orang Kristen) yang mula-mula melakukannya, sebagai reaksi atas perayaan natal umat Nasrani. Akhirnya, setelah terbukti bahwa kegiatan ini mampu membawa umat Islam untuk selalu ingat kepada Nabi Muhammad s.a.w., menambah ketaqwaan dan keimanan, kegiatan ini pun berkembang ke seluruh wilayah-wilayah Islam, termasuk Indonesia.
Versi lain menyatakan bahwa perayaan maulid ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fatimiyyah di Mesir pada tahun 362 Hijriyah. Disebutkan bahwa para khalifah Bani Fatimiyyah mengadakan perayaan-perayaan setiap tahunnya, di antaranya adalah perayaan tahun baru, Asyura, maulid Nabi s.a.w. bahwa termasuk maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husein serta maulid Fatimah dan lain-lain. Versi lainnya lagi menyebutkan bahwa perayaan maulid dimulai oleh Malik Mudaffar Abu Sa’id pada abad 6 atau ketujuh.[21]
  1. E.  Hukum Merayakan Maulid Nabi: Berbagai Pendapat Ulama
Peringatan Maulid Nabi s.a.w. yang dimaksud dalam hukum ini adalah tentu peringatan maulid Nabi s.a.w. yang aktifitasnya adalah untuk meneladani jejak langkah Rasulullah dalam berbagai aspeknya[22] dengan benar-benar memperhatikan ketentuan syariat seperti tidak ikhtilat, tidak mengumbar aurat dan lain-lain. Suatu pesta peringatan yang diatasnamakan peringatan maulid Nabi tetapi dalam aktifitasnya justru bertentangan dengan ajaran Islam maka jelaslah pesta peringatan semacam itu dilarang secara syariah.
Dalil dan argumentasi bagi yang merayakan maulid Nabi s.a.w antara lain: hadits Rasulullah “Barang siapa merintis jalan kebaikan maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang menjalankannya dan barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menjalankannya”. (H.R. Muslim).
Imam al-Suyuthi di dalam kitab beliau, Hawi li al-Fatawa Syaikhul Islam tentang maulid serta Ibn Hajar al-Asqalani ketika ditanya mengenai perbuatan menyambut kelahiran Nabi s.a.w. Beliau telah memberi jawaban secara tertulis: Adapun perbuatan menyambut maulid merupakan bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafush-shaleh pada 300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan itu penuh dengan kebaikan dan perkara-perkara yang terpuji, meski tidak jarang dicacat oleh perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya. Jika sambutan maulid itu terpelihara dari perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tergolong dalam perbuatan bid’ah hasanah. Akan tetapi jika sambutan tersebut terselip perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tidak tergolong di dalam bida’ah hasanah.
Selain pendapat di atas, mereka juga berargumentasi dengan dalil hadits yang menceritakan bahwa siksaan Abu Lahab di neraka setiap hari Senin diringankan. Hal itu karena Abu Lahab ikut bergembira ketika mendengar kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad s.a.w. Meski dia sendiri tidak pernah mau mengakuinya sebagai Nabi. Bahkan ekspresi kegembiraannya diimplementasikan dengan cara membebaskan budaknya, Tsuwaibah, yang saat itu memberi kabar kelahiran Nabi s.a.w. Perkara ini dinyatakan dalam sahih Bukhari dalam kitab Nikah. Bahkan Ibnu Katsir juga membicarakannya dalam kitabnya Siratunnabi.
Para pendukung maulid Nabi s.a.w. juga melandaskan pendapat mereka di atas hadits bahwa motivasi Rasulullah s.a.w. berpuasa hari Senin karena itu adalah hari kelahirannya. Selain karena hari itu merupakan hari dinaikkannya laporan amal manusia. Abu Qatadah al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. ketika ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari Senin, menjawab, Itulah hari aku dilahirkan dan itulah juga hari aku diangkat menjadi Rasul. Hadits ini bisa kita dapat di dalam Sahih Muslim, kitab al-Shiyam.
Argumentasi lain pendukung maulid Nabi, bid’ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah saja, bukan dalam masalah sosial kemasyarakatan atau masalah muamalah. Adapun seremonial maulid itu oleh para pendukungnya diletakkan di luar ritual ibadah formal. Sehingga tdak bisa diukur dengan ukuran bid’ah. Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis buku tentang kisah Nabi s.a.w. Padahal di masa Rasulullah s.a.w., tidak ada perintah atau anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa-masa berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.
Lalu kalau sekarang ini umat Islam memiliki koleksi buku sirah nabawiyah, apakah hal itu mau dikatakan sebaga bid’ah? Tentu tidak, karena buku itu hanyalah sarana, bukan bagian dari ritual ibadah. Dan keberadaan buku-buku itu justru akan membuat umat Islam semakin mengenal sosok dan kemuliaan serta kehebatan beliau. [23] Bahkan seharusnya umat Islam lebih banyak lagi menulis dan mengkaji buku-buku itu.
Dalam logika berpikir pendukung maulid, kira-kira seremonial maulid itu didudukkan pada posisi seperti buku. Bedanya, sejarah Nabi s.a.w. tidak ditulis, melainkan dibacakan, dipelajari, bahkan disampaikan dalam bentuk seni syair tingkat tinggi. Sehingga bukan melulu untuk konsumsi otak, tetapi juga menjadi konsumsi hati dan batin. Karena kisah nabi disampaikan dalam bentuk syair yang indah. Dan semua itu bukan termasuk wilayah ibadah formal melainkan bidang muamalah. Di mana hukum yang berlaku bahwa segala sesuatu asalnya boleh, kecuali bila ada dalil yang secara langsung melarangnya secara eksplisit.
Sedangkan pendapat yang menentang maulid Nabi menyatakan bahwa semua bentuk perayaan maulid nabi yang ada sekarang ini adalah bid’ah yang sesat. Sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk menyelenggarakannya atau ikut mensukseskannya. Argumentasi yang dikemukakan antara lain: bahwa perayaan maulid termasuk kategori ibadah mendekatkan diri kepada Allah yang dalam hal ibadah tidak boleh mengadakan perkara baru di dalamnya, berarti peringatan maulid adalah bid’ah yang diharamkan.[24] Cerita tentang diringankannya siksa Abu Lahab itu, hanya sekali saja bergembiranya, yaitu saat kelahiran. Dia tidak setiap tahun merayakan kelahiran Nabi s.a.w. dengan berbagai ragam seremoni. Kalau pun kegembiraan Abu Lahab itu melahirkan keringanan siksanya di neraka tiap hari Senin, bukan berarti orang yang tiap tahun merayakan lahirnya Nabi s.a.w. akan mendapatkan keringanan siksa.
Hujjah bahwa Rasulullah s.a.w. berpuasa di hari Senin, karena hari itu merupakan hari kelahirannya, menurut penentang Maulid Nabi tidak dapat dipakai, karena peringatan maulid dilakukan bukan dengan berpuasa, tapi melakukan berbagai macam aktifitas setahun sekali. Kalau pun mau berittiba’ pada hadits itu, seharusnya umat Islam memperbanyak puasa sunnah hari Senin, bukan menyelenggarakan seremoni maulid setahun sekali.
Bahkan mereka yang menentang perayaan maulid nabi ini mengaitkannya dengan kebiasaan dari agama sebelum Islam. Di mana umat Yahudi, Nasrani dan agama syirik lainnya punya kebiasaan ini. Buat kalangan mereka, kebiasaan agama lain itu haram hukumnya untuk diikuti. Sebaliknya harus dijauhi.[25]
  1. F.     Penutup
Demikianlah posisi maulid Nabi s.a.w., Muhammad s.a.w. memang manusia biasa, tetapi beliau adalah manusia teragung, karena beliau adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu, beliau adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, sebagian umat Islam menganggap kelahirannya sangat layak untuk diperingati.
Makna peringatan maulid Nabi Muhammad s.a.w. yang diselenggarakan setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan (ta’zhîman wa takrîman) terhadap beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah. Itulah yang menjadikan beliau sangat istimewa dibandingkan dengan manusia yang lain. Keistimewaan beliau  tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh Allah S.W.T., yang tidak diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah S.W.T. berfirman yang artinya: Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang menuju kepada-Nya.” (Q.S. Fushshilat [41]: 6).
Sebagai bagian dari umat Islam, barangkali kita ada di salah satu pihak dari dua pendapat yang berbeda. Kalau pun kita mendukung salah satunya, tentu saja bukan pada tempatnya untuk menjadikan perbedaan pandangan ini sebagai bahan baku saling menjelekkan, saling caci dan saling menghujat, saling merendahkan. Perbedaan pandangan tentang hukum merayakan maulid Nabi s.a.w., suka atau tidak suka, memang telah kita warisi dari zaman dulu.
Sehingga bukan masanya lagi buat kita untuk meninggalkan banyak kewajiban berislam hanya lantaran masih saja meributkan perbedaan pendapat terhadap masalah furu’iyyah tersebut. Sebaliknya, kita justru harus saling membela, menguatkan, membantu dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan pandangan sudah pasti ada dan tidak akan pernah ada habisnya. Kalau kita terjebak untuk terus bertikai, maka para musuh Islam akan semakin gembira. Semoga Allah selalu merahmati dan meridhai kita semua. Amin.[]