Maulid Nabi Muhammad S.A.W.: Antara Tradisi, Sunnah Dan Bid’ah
A.
PENDAHULUAN
Ketika
diminta menulis tentang topik ini, saya teringat dengan suatu event
beberapa waktu lalu yang saya presentasi di dalamnya yaitu Annual
Conference on Islamic Studies (ACIS)
ke-10 pada 1-4 Nopember 2010 di Banjarmasin yang menampilkan tema
kegiatan “Menampilkan Kembali Islam
Nusantara”.
Dalam event tersebut dibahas berbagai makalah yang membahas tentang
Islam Nusantara dari berbagai aspeknya.
Ajaran
Islam yang berkembang di Indonesia mempunyai tipikal yang spesifik
bila dibandingkan dengan ajaran Islam di berbagai negara Muslim
lainnya. Menurut banyak studi, Islam di Indonesia adalah Islam yang
akomodatif dan cenderung elastis dalam berkompromi dengan situasi dan
kondisi yang berkembang di Indonesia, terutama situasi sosial politik
yang sedang terjadi pada masa tertentu. Muslim Indonesia pun konon
memiliki karakter yang khas, terutama dalam pergumulannya dengan
kebudayaan lokal Indonesia. Disinilah terjadi dialog dan dialektika
antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam
yang khas Indonesia, sehingga dikenal sebagai “Islam Nusantara”
atau “Islam Indonesia”. “Islam Nusantara” atau “Islam
Indonesia” dimaknai sebagai Islam yang berbaju kebudayaan
Indonesia, Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang menghargai
pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam
Nusantara” atau “Islam Indonesia” bukan foto copy Islam Arab,
bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan
bukan pula duplikasi Islam Eropa.[1]
Meskipun
Islam lahir di negeri Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat
tumbuh dan berkembang dengan kekhasannya dan pada waktu yang sama
sangat berpengaruh di bumi Indonesia yang sebelumnya diwarnai
animisme dan dinamisme, serta agama besar seperti Hindu dan Budha.
Dengan demikian, wajah Islam yang tampil di Indonesia adalah wajah
Islam yang khas Indonesia, wajah Islam yang berkarakter Indonesia,
dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tetapi
sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Hal
ini tidak bisa terlepas dari bagaimana Islam masuk ke Indonesia.
Islam beserta ajarannya masuk ke Indonesia dengan cara penetrasi,
dengan cara yang sangat laten dan membaur dengan berbagai tradisi
yang telah ada dan eksis.[2] Dengan
kata lain Islam masuk ke Indonesia tanpa menimbulkan hentakan shoc
culture, apalagi
memicu kontroversi, sesuatu yang tidak lazim bila dibandingkan dengan
sejarah munculnya beberapa ideologi besar di dunia.
Oleh
karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan hasil dialog dan
dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan
wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam kenyataannya, Islam di
Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak monolit, dan tidak
simpel, walaupun sumber utamanya tetap pada al-Quran dan al-Sunnah.
Islam Indonesia bergelut dengan kenyataan negara-bangsa, modernitas,
globalisasi, kebudayaan lokal, dan semua wacana kontemporer yang
menghampiri perkembangan zaman dewasa ini.
Tulisan
ini ditulis dalam konteks sebagaimana tersebut di atas dalam
memandang event peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w. Dalam
realitanya memang terdapat berbagai tradisi umat Islam di banyak
negara Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, Mesir, Yaman,
Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya yang menimbulkan “kontroversi”
dari perspektif hukum tentang boleh atau tidaknya atau halal atau
haramnya untuk mengamalkannya. Di antara tradisi yang menimbulkan
kontroversi itu antara lain melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti
peringatan maulid Nabi s.a.w., peringatan Isra’ Mi’raj,
peringatan Muharram, dan lain-lain.
Oleh
karena kontroversi-kontrioversi yang menyelimuti
peringatan-peringatan tersebut, maka tulisan ini berupaya menjelaskan
posisi peringatan maulid Nabi s.a.w. perspektif hukum Islam, akan
tetapi tidak bersifat tunggal, namun memberikan horizon pilihan yang
memungkinkan kita untuk bersikap arif dan bijaksana terhadap pihak
yang berbeda pahamnya.
- B. Peringatan Maulid Nabi s.a.w. dan Karakteristik Dasar Islam
Islam
diyakini sebagai agama yang universal, untuk seluruh umat manusia,
tidak terbatas oleh ruang dan waktu. al-Qur’an sendiri menyatakan
bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia.[3] Oleh
karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap manusia,
tanpa harus ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana
manusia itu berada. Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern,
sebagaimana ia dapat berhadapan dengan masyarakat tradisional. Islam
senantiasa cocok untuk umat manusia kapan pun dan dimanapun.
Kesiapan
Islam menghadapi tantangan zaman selalu menjadi topik bahasan para
pemikir muslim kontemporer.[4] Pada
dasarnya, ajaran Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok
ajaran, qath’iyyat danzhanniyat. Pertama,
ajaran Islam yang bersifat absolut, universal dan permanen, tidak
berubah dan tidak dapat diubah. Termasuk kelompok ini adalah ajaran
Islam yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits mutawatir yang
penunjukannya telah jelas (qath’i al-dalalah). Kedua ajaran
Islam yang bersifat relatif, tidak universal dan tidak permanen,
dapat berubah dan diubah yang berakar pada nash yang zhanniyat yang
membuka ruang berijtihad.[5]Ranah
ini memberikan kemungkinan epistemilogis hukum bahwa setiap wilayah
yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara
berbeda-beda karena faktor sejarah, sosiologis, situasi dan kondisi
yang berbeda yang melingkupi para mujtahid. Inilah yang disebut fiqh.
Fiqh dalam penerapan dan aplikasinya justru harus mengikuti kondisi
dan situasi sesuai dengan tuntutan kemaslahatan dan kemajuan zaman.
Hal ini dimaksudkan agar prinsip maslahat tetap terpenuhi dan
terjamin. Sebab fiqh adalah produk zamannya. Menurut saya, peringatan
maulid Nabi s.a.w. masuk dalam kategori ini.
Fiqh
yang pada saat diijtihadkan oleh mujtahid dipandang tepat dan
relevan, mungkin kini dipandang menjadi kurang atau bahkan tidak
relevan lagi.[6] Dalam
suatu kaidah[7] diungkapkan:
تغير
الفتوى واختلافها بحسب تغير الازمنة
والامكنة والاحوال والنيات والعوائد
Artinya:
“Fatwa
hukum Islam dapat berubah sebab berubahnya masa, tempat, situasi,
dorongan, dan motivasi”.
Ajaran
Islam yang termasuk kelompok yang bersifat relatif (zhanniyat),
ternyata lebih banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan ajaran Islam
yang bersifat absolut dan permanen. Allah berfirman
وقد
فصل لكم ما حرم عليكم إلا ما اضطررتم إليه
Artinya,
“Sesungguhnya
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu,
kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”.
(Q.S. al-An‘am [6]: 119). Ini maknanya bahwa segala sesuatu yang
haram telah diperincikan secara detail dalam syarak, sedangkan yang
mubah (dibolehkan) tidaklah diperinci secara detail dan tidak pula
dibatasi secara detail.
Ajaran
Islam yang berakar pada nash zhanni inilah
yang merupakan wilayah ijtihadi, yang produknya disebut fiqh. Hukum
Islam dalam pengertian inilah yang memberikan kemungkinan
epistemologis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat
menerapkan hukum secara berbeda-beda dengan wajah Islam yang
berbeda-beda pula. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh perbedaan
sistem politik yang dianut, melainkan juga oleh faktor sejarah,
sosiologis dan kultur masing-masing negara muslim tersebut.[8]
Di sinilah Islam berdialog dan berdialektika dengan kultur lokal
sehingga melahirkan Islam yang lebih khas nuansa dan muatan lokalnya.
Ijtihad
sebagai sarana untuk berdialog dan berdialektika antara Islam dan
situasi dan kondisi lokalitas dipahami sebagai metode untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum, baik yang ada nashnya maupun
yang tidak terdapat nashnya.[9] Tidak
terkecuali, dalam hal menghukumi peringatan maulid Nabi s.a.w. juga
merupakan wilayah ijtihad yang mungkin akan lahir hasil yang
berbeda-beda. Ijtihad dalam Islam sebagaimana dikatakan oleh Iqbal
merupakan the
principle of movement-daya
gerak kemajuan umat Islam.[10] Dengan
kata lain, ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam[11] yang
menjadikan Islam salihun
li kulli zaman wa li kulli makan (selalu
cocok kapan pun dan di manapun).
Dalam
konteks ijtihad tersebut, perlu ditegaskan bahwa tujuan utama
penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan misi
Islam secara keseluruhan yang rahmatan
lil’alamin.
Bahkan al-Syatibi dalam al-Muqafaqat[12] menegaskan:
ومعلوم ان الشريعة انما وضعت لمصالح الخلق باطلاق
Artinya:
“Telah
diketahui bahwa hukum Islam itu disyariatkan atau diundangkan untuk
mewujudkan kemaslahatan makhluk secara mutlak“.
اينما كانت المصلحة فثم حكم الله
Artinya:
“Di
mana ada maslahat, disanalah hukum Allah”.
Dua
ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya
hubungan antara hukum Islam dengan kemaslahatan. Mengenai pemaknaan
terhadap maslahat, para ulama mengungkapkannya dengan definisi yang
berbeda-beda. Menurut al-Khawarizmi, maslahat merupakan pemeliharaan
terhadap tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal
yang merugikan dari makhluk (manusia).[14] Sementara
menurut al-Thufi, maslahat secara urf merupakan
sebab yang membawa kepada kemaslahatan (manfaat), sedangkan dalam
hukum Islam, maslahat merupakan sebab yang membawa akibat bagi
tercapainya tujuan Syâri’ (Allah), baik dalam bentuk ibadat maupun
mu’amalat.[15] Sedangkan
menurut al-Ghazali, maslahat makna asalnya merupakan menarik manfaat
atau menolak madharat. Akan tetapi yang dimaksud maslahat dalam hukum
Islam adalah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap hukum yang mengandung tujuan
memelihara kelima hal tersebut disebut maslahat.[16]
Hal-hal
tersebut perlu dikemukakan agar kita lebih arif dalam melihat
realitas keberislaman umat Islam yang cenderung tidak tunggal. Dengan
memahami karakter dasar Islam, diharapkan satu sama lain tidak mudah
mengkafirkan atau menuduh bid’ah, sesat dan lain-lain, sehingga
ukhuwah Islamiyah tetap dapat terpelihara walaupun terdapat perbedaan
cara pandang terhadap hal-hal yang furu’iyyah, bukan ushuliyyah,
karena sumber utamanya tetap sama yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Dalam
konteks karakter dasar Islam tersebut di atas, jelaslah peringatan
maulid Nabi s.a.w. berada dalam wilayah dzanni, bukan qath’i, ia
bukan berada dalam wilayah ibadah mahdah, ia berada wilayah yang
produk hukum mengenainya disebut fiqh, ia berada dalam wilayah
furu’iyah, bukan ushuliyyah.
C. Memahami
Ragam Bid’ah
Bid’ah
secara bahasa adalah segala sesuatu yang baru yang tidak ada contoh
sebelumnya, baik itu terpuji atau tercela. Sedangkan secara istilah,
para ulama mendefinisikannya dengan berbagai redaksi yang
berbeda-beda dan perspektif yang bermacam-macam. Menurut Imam
al-Syafi’i, bid’ah dibagi menjadi dua yaitu bid’ah
hasanah(mahmudah)
dan bid’ah
sayyi’ah (madzmumah).
Segala sesuatu yang baru yang selaras dengan al-Sunnah disebut bid’ah
hasanah,
dan sebaliknya.[17]
Ibnu
Atsir dalam kitabnya “Annihayah
fi Gharibil Hadist wal-Atsar”
pada bab Bid’ah dan pada pembahasan hadits Umar tentang Qiyamullail
(salat malam) Ramadhan “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini“,
bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah baik dan bid’ah sesat.
Bid’ah yang bertentangan dengan perintah al-Qur’an dan al-Hadits
disebut bid’ah sesat, sedangkan bid’ah yang sesuai dengan
ketentuan umum ajaran agama dan mewujudkan tujuan dari syariah itu
sendiri disebut bid’ah hasanah. Ibnu Atsir menukil sebuah hadits
Rasulullah “Barang
siapa merintis jalan kebaikan maka ia akan mendapatkan pahalanya dan
pahala orang orang yang menjalankannya dan barang siapa merintis
jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang
menjalankannya“.
(H.R. Muslim). Rasulullah juga bersabda “Ikutilah
kepada teladan yang diberikan oleh dua orang sahabatku Abu Bakar dan
Umar“.
Dalam kesempatan lain Rasulullah juga menyatakan “Setiap
yang baru dalam agama adala Bid’ah“.
Untuk mensinkronkan dua hadits tersebut adalah dengan pemahaman bahwa
setiap tindakan yang jelas bertentangan dengan ajaran agama disebut
“bid’ah”.[18]
Izzuddin
bin Abdussalam bahkan membuat kategori bid’ah sebagai berikut: 1)
Wajib seperti meletakkan dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang
belum ada pada zaman Rasulullah. Ini untuk menjaga dan melestarikan
ajaran agama, seperti kodifikasi al-Qur’an. 2) Bid’ah yang sunnah
seperti mendirikan madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian
keagamaan dan membaca al-Qur’an di dalam masjid. 3) Bid’ah yang
haram seperti melagukan al-Qur’an hingga merubah arti aslinya, 4)
Bid’ah Makruh seperti menghias masjid dengan gambar-gambar. 5)
Bid’ah yang halal, seperti bid’ah dalam tata cara pembagian
daging Qurban dan lain sebagainya.
Ada
juga pendapat yang mengatakan bahwa bid’ah terjadi hanya dalam
masalah-masalah ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk
membedakan mana amalan yang masuk dalam kategori masalah ibadah dan
mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan mana bid’ah yang baik
dan tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan
perselisihan antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan.
Selayaknya kita tidak membesar-besarkan masalah seperti ini, karena
kebanyakan kembalinya hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran
(furu’iyyah).
Kita diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena
ini masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama). Sikap yang kurang
terpuji dalam mensikapi masalah furu’iyah adalah mengklaim dirinya
dan pendapatnya yang paling benar.[19]
- D. Sejarah Maulid Nabi s.a.w.
Fakta
yang sesungguhnya dari kehidupan Rasulullah s.a.w. menegaskan bahwa
tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pada tiap ulang tahun
kelahirannya melakukan ritual tertentu. Bahkan para sahabat beliau
pun tidak pernah mengadakan ihtifal (perayaan) secara khusus setiap
tahun untuk mewujudkan kegembiraan karena memperingati kelahiran Nabi
s.a.w. Bahkan upacara secara khusus untuk merayakan ritual maulid
Nabi s.a.w. juga tidak pernah ada pada generasi tabi’in.[20]
Dengan
demikian secara khusus, Nabi Muhammad s.a.w. memang tidak pernah
menyuruh hal-hal demikian. Karena tidak pernah menyuruh, maka secara
spesial pula, hal ini tidak bisa dikatakan “masyru‘”
(disyariatkan), tetapi juga tidak bisa dikatakan berlawanan dengan
syariat. Perayaan maulid Nabi s.a.w. secara khusus baru dilakukan di
kemudian hari.
Ada
banyak versi tentang siapa yang memulai tradisi ini. Sebagian
mengatakan bahwa konon Shalahuddin Al-Ayyubi (komandan Perang Salib
yang berhasil merebut Jerusalem dari orang-orang Kristen) yang
mula-mula melakukannya, sebagai reaksi atas perayaan natal umat
Nasrani. Akhirnya, setelah terbukti bahwa kegiatan ini mampu membawa
umat Islam untuk selalu ingat kepada Nabi Muhammad s.a.w., menambah
ketaqwaan dan keimanan, kegiatan ini pun berkembang ke seluruh
wilayah-wilayah Islam, termasuk Indonesia.
Versi
lain menyatakan bahwa perayaan maulid ini dimulai pada masa dinasti
Daulah Fatimiyyah di Mesir pada tahun 362 Hijriyah. Disebutkan bahwa
para khalifah Bani Fatimiyyah mengadakan perayaan-perayaan setiap
tahunnya, di antaranya adalah perayaan tahun baru, Asyura, maulid
Nabi s.a.w. bahwa termasuk maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan
dan Husein serta maulid Fatimah dan lain-lain. Versi lainnya lagi
menyebutkan bahwa perayaan maulid dimulai oleh Malik Mudaffar Abu
Sa’id pada abad 6 atau ketujuh.[21]
- E. Hukum Merayakan Maulid Nabi: Berbagai Pendapat Ulama
Peringatan
Maulid Nabi s.a.w. yang dimaksud dalam hukum ini adalah tentu
peringatan maulid Nabi s.a.w. yang aktifitasnya adalah untuk
meneladani jejak langkah Rasulullah dalam berbagai
aspeknya[22] dengan
benar-benar memperhatikan ketentuan syariat seperti tidak ikhtilat,
tidak mengumbar aurat dan lain-lain. Suatu pesta peringatan yang
diatasnamakan peringatan maulid Nabi tetapi dalam aktifitasnya justru
bertentangan dengan ajaran Islam maka jelaslah pesta peringatan
semacam itu dilarang secara syariah.
Dalil
dan argumentasi bagi yang merayakan maulid Nabi s.a.w antara lain:
hadits Rasulullah “Barang siapa merintis jalan kebaikan maka ia
akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang menjalankannya
dan barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan
dosa orang yang menjalankannya”. (H.R. Muslim).
Imam
al-Suyuthi di dalam kitab beliau, Hawi
li al-Fatawa Syaikhul
Islam tentang maulid serta Ibn Hajar al-Asqalani ketika ditanya
mengenai perbuatan menyambut kelahiran Nabi s.a.w. Beliau telah
memberi jawaban secara tertulis: Adapun perbuatan menyambut maulid
merupakan bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para
salafush-shaleh pada 300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan
itu penuh dengan kebaikan dan perkara-perkara yang terpuji, meski
tidak jarang dicacat oleh perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya.
Jika sambutan maulid itu terpelihara dari perkara-perkara yang
melanggar syari’ah, maka tergolong dalam perbuatan bid’ah
hasanah. Akan tetapi jika sambutan tersebut terselip perkara-perkara
yang melanggar syari’ah, maka tidak tergolong di dalam bida’ah
hasanah.
Selain
pendapat di atas, mereka juga berargumentasi dengan dalil hadits yang
menceritakan bahwa siksaan Abu Lahab di neraka setiap hari Senin
diringankan. Hal itu karena Abu Lahab ikut bergembira ketika
mendengar kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad s.a.w. Meski dia
sendiri tidak pernah mau mengakuinya sebagai Nabi. Bahkan ekspresi
kegembiraannya diimplementasikan dengan cara membebaskan budaknya,
Tsuwaibah, yang saat itu memberi kabar kelahiran Nabi s.a.w. Perkara
ini dinyatakan dalam sahih Bukhari dalam kitab Nikah. Bahkan Ibnu
Katsir juga membicarakannya dalam kitabnya Siratunnabi.
Para
pendukung maulid Nabi s.a.w. juga melandaskan pendapat mereka di atas
hadits bahwa motivasi Rasulullah s.a.w. berpuasa hari Senin karena
itu adalah hari kelahirannya. Selain karena hari itu merupakan hari
dinaikkannya laporan amal manusia. Abu Qatadah al-Anshari
meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. ketika ditanya mengapa beliau
berpuasa pada hari Senin, menjawab, Itulah hari aku dilahirkan dan
itulah juga hari aku diangkat menjadi Rasul. Hadits ini bisa kita
dapat di dalam Sahih Muslim, kitab al-Shiyam.
Argumentasi
lain pendukung maulid Nabi, bid’ah itu hanya terbatas pada ibadah
mahdhah saja, bukan dalam masalah sosial kemasyarakatan atau masalah
muamalah. Adapun seremonial maulid itu oleh para pendukungnya
diletakkan di luar ritual ibadah formal. Sehingga tdak bisa diukur
dengan ukuran bid’ah. Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis
buku tentang kisah Nabi s.a.w. Padahal di masa Rasulullah s.a.w.,
tidak ada perintah atau anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan
beliau. Bahkan hingga masa-masa berikutnya, belum pernah ada buku
yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.
Lalu
kalau sekarang ini umat Islam memiliki koleksi buku sirah nabawiyah,
apakah hal itu mau dikatakan sebaga bid’ah? Tentu tidak, karena
buku itu hanyalah sarana, bukan bagian dari ritual ibadah. Dan
keberadaan buku-buku itu justru akan membuat umat Islam semakin
mengenal sosok dan kemuliaan serta kehebatan beliau. [23] Bahkan
seharusnya umat Islam lebih banyak lagi menulis dan mengkaji
buku-buku itu.
Dalam
logika berpikir pendukung maulid, kira-kira seremonial maulid itu
didudukkan pada posisi seperti buku. Bedanya, sejarah Nabi s.a.w.
tidak ditulis, melainkan dibacakan, dipelajari, bahkan disampaikan
dalam bentuk seni syair tingkat tinggi. Sehingga bukan melulu untuk
konsumsi otak, tetapi juga menjadi konsumsi hati dan batin. Karena
kisah nabi disampaikan dalam bentuk syair yang indah. Dan semua itu
bukan termasuk wilayah ibadah formal melainkan bidang muamalah. Di
mana hukum yang berlaku bahwa segala sesuatu asalnya boleh, kecuali
bila ada dalil yang secara langsung melarangnya secara eksplisit.
Sedangkan
pendapat yang menentang maulid Nabi menyatakan bahwa semua bentuk
perayaan maulid nabi yang ada sekarang ini adalah bid’ah yang
sesat. Sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk
menyelenggarakannya atau ikut mensukseskannya. Argumentasi yang
dikemukakan antara lain: bahwa perayaan maulid termasuk kategori
ibadah mendekatkan diri kepada Allah yang dalam hal ibadah tidak
boleh mengadakan perkara baru di dalamnya, berarti peringatan maulid
adalah bid’ah yang diharamkan.[24] Cerita
tentang diringankannya siksa Abu Lahab itu, hanya sekali saja
bergembiranya, yaitu saat kelahiran. Dia tidak setiap tahun merayakan
kelahiran Nabi s.a.w. dengan berbagai ragam seremoni. Kalau pun
kegembiraan Abu Lahab itu melahirkan keringanan siksanya di neraka
tiap hari Senin, bukan berarti orang yang tiap tahun merayakan
lahirnya Nabi s.a.w. akan mendapatkan keringanan siksa.
Hujjah
bahwa Rasulullah s.a.w. berpuasa di hari Senin, karena hari itu
merupakan hari kelahirannya, menurut penentang Maulid Nabi tidak
dapat dipakai, karena peringatan maulid dilakukan bukan dengan
berpuasa, tapi melakukan berbagai macam aktifitas setahun sekali.
Kalau pun mau berittiba’ pada hadits itu, seharusnya umat Islam
memperbanyak puasa sunnah hari Senin, bukan menyelenggarakan seremoni
maulid setahun sekali.
Bahkan
mereka yang menentang perayaan maulid nabi ini mengaitkannya dengan
kebiasaan dari agama sebelum Islam. Di mana umat Yahudi, Nasrani dan
agama syirik lainnya punya kebiasaan ini. Buat kalangan mereka,
kebiasaan agama lain itu haram hukumnya untuk diikuti. Sebaliknya
harus dijauhi.[25]
- F. Penutup
Demikianlah
posisi maulid Nabi s.a.w., Muhammad s.a.w. memang manusia biasa,
tetapi beliau adalah manusia teragung, karena beliau adalah nabi dan
rasul yang telah diberi wahyu, beliau adalah pembawa risalah
sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, sebagian
umat Islam menganggap kelahirannya sangat layak untuk diperingati.
Makna
peringatan maulid Nabi Muhammad s.a.w. yang diselenggarakan setiap
tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai bentuk
pengagungan dan penghormatan (ta’zhîman
wa takrîman)
terhadap beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah.
Itulah yang menjadikan beliau sangat istimewa dibandingkan dengan
manusia yang lain. Keistimewaan beliau tidak lain karena beliau
diberi wahyu oleh Allah S.W.T., yang tidak diberikan kepada
kebanyakan manusia lainnya. Allah S.W.T. berfirman yang
artinya: Katakanlah,
“Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku
telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Karena itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang menuju
kepada-Nya.”
(Q.S. Fushshilat [41]: 6).
Sebagai
bagian dari umat Islam, barangkali kita ada di salah satu pihak dari
dua pendapat yang berbeda. Kalau pun kita mendukung salah satunya,
tentu saja bukan pada tempatnya untuk menjadikan perbedaan pandangan
ini sebagai bahan baku saling menjelekkan, saling caci dan saling
menghujat, saling merendahkan. Perbedaan pandangan tentang hukum
merayakan maulid Nabi s.a.w., suka atau tidak suka, memang telah kita
warisi dari zaman dulu.
Sehingga
bukan masanya lagi buat kita untuk meninggalkan banyak kewajiban
berislam hanya lantaran masih saja meributkan perbedaan pendapat
terhadap masalah furu’iyyah tersebut. Sebaliknya, kita justru harus
saling membela, menguatkan, membantu dan mengisi kekurangan
masing-masing. Perbedaan pandangan sudah pasti ada dan tidak akan
pernah ada habisnya. Kalau kita terjebak untuk terus bertikai, maka
para musuh Islam akan semakin gembira. Semoga Allah selalu merahmati
dan meridhai kita semua. Amin.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar