Manajemen Laba (Earnings Management)
Scott (2000) menyatakan bahwa “earnings management is the choice by a manager of accounting policies
so as to achive some specific objective”. Berdasarkan pernyataan tersebut
menunjukkan bahwa manajemen laba merupakan pilihan kebijakan akuntansi oleh
manajer untuk berbagai tujuan spesifik. Kebijakan akuntansi dikelompokkan ke
dalam dua kategori. Pertama, pilihan
kebijakan akuntansi itu sendiri, seperti straight-line
versus declining-balance amortization, atau kebijakan untuk pengukuran revenue; dan kedua akrual diskresi, seperti provisi kerugian kredit, biaya
jaminan, nilai persediaan, waktu dan jumlah pos luar biasa. Ada dua cara untuk
melihat perilaku manajemen laba. Pertama,
perilaku opportunistic manajemen
untuk memaksimumkan utilitas mereka mengenai kompensasi, debt contract, dan political
cost; dan kedua, manajemen laba
dari perspektif efficient contracting.
Healy (1985) menyatakan bahwa ada dua pendekatan yang dapat
digunakan untuk mendeteksi perilaku manajemen me-manage laba. Pertama,
mengontrol jenis akrual, dimana akrual secara luas didefinisikan sebagai porsi
item penerimaan dan pengeluaran (revenue
and expenses) pada laporan laba-rugi yang tidak direpresentasikan oleh arus
kas; dan kedua, perubahan kebijakan
akuntansi. Selanjutnya, Healy menyatakan bahwa akrual diskresi digunakan
sebagai proxy total akrual. Asumsi
yang digunakan adalah akrual non-diskresi relatif kecil terhadap akrual
diskresi, sehingga total akrual tinggi mengandung akrual diskresi tinggi. Total
akrual dapat dihitung dengan dua cara. Pertama,
menghitung perubahan setiap akun neraca yang merupakan subyek akrual; dan kedua, menghitung perbedaan antara net income dan cash flow.
Manajemen melakukan peningkatan laba melalui kebijakan
akrual dapat dideteksi dari empat items akrual yaitu: biaya amortisasi,
peningkatan net accounts receivable,
peningkatan inventory, dan penurunan accounts
payble and accrual liabilities. Biaya amortisasi merupakan akrual
non-diskresi, diasumsikan bahwa kebijakan mengenai amortisasi adalah given. Peningkatan piutang dagang
diasumsikan berasal dari penurunan penyisihan piutang (allowance for doubtful account) yang merupakan hasil dari estimasi
yang kurang konservatif. Hal ini merupakan akrual diskresi, karena manajemen
secara fleksibel dapat mengendalikan jumlah penyisihan piutang tersebut; atau
karena kebijakan kredit dan pencatatan saldo piutang pada awal dan akhir
periode. Namun, jika peningkatan piutang disebabkan oleh peningkatan volume
bisnis, maka akrual tersebut merupakan akrual non-diskresi. Demikian pula
peningkatan inventory yang tidak disebabkan oleh perubahan volume merupakan
akrual diskresi. Penurunan utang dagang dan kewajiban akrual juga merupakan
akrual diskresi, dengan asumsi bahwa penurunan ini berasal dari manajemen yang
lebih optimistic menjamin klaim
terhadap produknya.
Kebijakan manajemen yang didasari oleh motivasi opportunistic cenderung melakukan manipulasi laba melalui berbagai
macam dimensi, seperti dimensi-dimensi earning opacity: earnings aggressiveness, loss avoidance, dan
earnings smoothing (Bhattacharya et al., 2003). Earnings aggressiveness adalah output dari kebijakan aggressive
accounting dan merupakan cara terbaik yang digunakan oleh manajemen dalam
memanipulasi laba, terutama dengan cara meningkatkan laba secara temporer
(Penman, 2003). Kothari (2001) menyatakan bahwa dampak dari perusahaan yang
melakukan aggressive accounting adalah nilai buku sekarang (current
book value) aktiva dan laba lebih tinggi daripada nilai yang sesungguhnya.
Beaver (2002) juga menunjukkan bahwa dalam manajemen
akrual, perusahaan dapat melakukan manajemen laba melalui beberapa
karakteriksik perusahaan (seperti: overstate
earnings, loss avoidance, dan income smoothing). Motivasi manajemen
akrual dikelompokkan ke dalam motivasi opportunistic
dan signaling. Motivasi opportunistic mendorong manajemen
menyajikan laporan keuangan (khususnya laporan laba) lebih tinggi daripada yang
sesungguhnya (Penman, 2003). Sedangkan pada motivasi signaling,
manajemen cenderung me-manage akrual yang mengarah pada persistensi laba
(Sloan, 1996; Dechow dan Dichev, 2002). Hal ini dapat dilakukan dengan
cara memperbaiki kualitas laporan keuangan melalui angka-angka akuntansi yang
mengarah pada kualitas laba.
Motivasi
opportunistic mendorong perilaku
manajemen untuk menyajikan laporan laba secara smooth. Manajemen melakukan smoothing
laba mempunyai harapan bahwa
kompensasi (reward) yang diterima dapat memuaskan dan adanya
jaminan kompensasi dalam jangka panjang. Sesuai dengan literatur income
smoothing, manajemen lebih banyak menggunakan metode akuntansi untuk
mengurangi fluktuasi laba daripada memaksimalkan atau meminimalkan laba (Moses,
1987). Tindakan ini dilakukan untuk menjaga stabilitas laporan laba dari waktu
ke waktu dengan harapan kinerja perusahaan dipandang sustainable.
Motivasi opportunistic dapat
dilakukan oleh manajemen melalui kebijakan aggressive
accounting yang mengarah pada overstate
earnings (earnings aggressiveness)
dan earnings smoothing. Bhattacharya et al. (2003) menyatakan bahwa earnings aggressiveness dan earnings smoothing akan menciptakan earnings opacity.
Pada
motivasi signaling, manajemen
melakukan kebijakan akrual yang mengarah pada persistensi laba. Motivasi signaling mendorong manajemen menyajikan
laporan laba yang dapat mencerminkan laba sesungguhnya. Beberapa literatur
menyatakan bahwa signaling theory merupakan effect yang timbul
dari pengumuman laporan keuangan yang ditangkap oleh para pemakai laporan
keuangan (terutama investor). Signaling effect dihasilkan oleh informasi
baru, dan bukan oleh issue yang terjadi (Penman, 2003). Atas dasar motivasi
signaling, manajemen terdorong untuk
menyajikan laporan laba yang mengarah pada persistensi laba.
Berdasarkan
uraian tersebut menunjukkan bahwa perilaku manajemen (khususnya manajemen laba)
dimotivasi oleh motivasi opportunistic
dan signaling. Pada teori keagenan,
manajemen berkewajiban meningkatkan kemakmuran pemegang saham (principals); dan pada sisi lain,
manajemen juga mempunyai harapan untuk meningkatkan utilitas dan insentif yang
akan diterima oleh manajemen melalui kompensasi. Pada motivasi signaling, manajemen melakukan manajemen
laba dalam rangka memberikan sinyal kemakmuran pemegang saham. Pada motivasi signaling ini, manajemen harus dapat
menyajikan laporan yang mempunyai kualitas tinggi (persisten). Persistensi laba
mengandung makna bahwa laba saat ini dapat digunakan sebagai indikator laba
periode berikutnya. Berbagai konsep tersebut disajikan secara mendalam berikut.
sumber http://mujihartopanga.blogspot.com/2014/01/teori-keagenan-dan-manajemen-laba.html